Monday, June 14, 2010

BIODATA SUBAGIO SASTRO WARDOYO

Subagio Sastrowardoyo dilahirkan di Madiun (Jawa Timur) tanggal 1 Februari 1924. Dalam sastra Indonesia Subagio Sastrowardoyo lebih dikenal sebagai penyair meskipun tulisannya tidak terbatas pada puisi.
Nama Subagio Sastrowardoyo dicatat pertama kali dalam peta perpuisian
Indonesia ketika kumpulan puisinya Simphoni terbit tahun 1957 di
Yogyakarta.Ia ditulis oleh seorang yang tidak memberi aksentuasi pada gerak, pada suara keras, atau kesibukan di luar dirinya.
Ia justru suatu perlawanan terhadap gerak, suara keras, serta kesibukan
di luar sebab Subagio Sastrowardoyo memilih diam dan memenangkan diam. a meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 18 Juli 1996 dalam usia 72 tahun.

Pendidikan Subagio dilakukan di berbagai tempat, yaitu HIS di Bandung dan Jakarta. Pendidikan HBS, SMP, dan SMA di Yogyakarta.
Pada tahun 1958 berhasil menamatkan studinya di Fakultas Sastra,
Universitas Gadjah Mada dan 1963 meraih gelar master of art (M.A.) dari
Department of Comparative Literature, Universitas Yale, Amerika Serikat.

Subagio pernah menjabat Ketua Jurusan Bahasa Indonesia B-1 di Yogyakarta (1954—1958). Ia juga pernah mengajar di almamaternya, Fakultas Sastra, UGM pada tahun 1958—1961. Pada 1966—1971 ia mengajar di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung .
Selanjutnya, tahun 1971—1974 mengajar di Salisbury Teacherrs College,
Australia Selatan, dan di Universitas Flinders, Australia Selatan tahun
1974—1981. Selain itu, ia juga pernah bekerja
sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta (1982—1984) dan sebagai anggota
Kelompok Kerja Sosial Budaya Lemhanas dan Direktur Muda Penerbitan PN
Balai Pustaka (1981).

kampung

KAMPUNG

Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
karena hawa di sini sudah pengap oleh
pikiran-pikiran beku.

Hidup di negeri ini seperti di dalam kampung
di mana setiap orang ingin bikin peraturan
mengenai lalu lintas di gang, jaga malam dan
daftar diri di kemantren.

Di mana setiap orang ingin jadi hakim
dan berbincang tentang susila, politik dan agama
seperti soal-soal yang dikuasai.

Di mana setiap tukang jamu disambut dengan hangat
dengan perhatian dan tawanya.

Di mana ocehan di jalan lebih berharga
dari renungan tenang di kamar.

Di mana curiga lebih mendalam dari cinta dan percaya.

Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
karena aku ingin merdeka dan menemukan diri.

kampung

KAMPUNG

Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
karena hawa di sini sudah pengap oleh
pikiran-pikiran beku.

Hidup di negeri ini seperti di dalam kampung
di mana setiap orang ingin bikin peraturan
mengenai lalu lintas di gang, jaga malam dan
daftar diri di kemantren.

Di mana setiap orang ingin jadi hakim
dan berbincang tentang susila, politik dan agama
seperti soal-soal yang dikuasai.

Di mana setiap tukang jamu disambut dengan hangat
dengan perhatian dan tawanya.

Di mana ocehan di jalan lebih berharga
dari renungan tenang di kamar.

Di mana curiga lebih mendalam dari cinta dan percaya.

Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
karena aku ingin merdeka dan menemukan diri.
SAJAK TAK PERNAH MATI

Sajak menyuarakan puncak derita
yang pernah ditanggung manusia.
Injak, robek atau bakarlah
sajak, jerit sakit masih menyayat
malam sunyi.

Seperti berabad lalu anak Tuhan
sebelum ajalnya di salib berteriak:
"Allah, Allah, mengapa daku
kau telantarkan!" keluh itu
terus berkumandang sampai kini.

Kalau aku mampus, tangisku
yang menyeruak dari hati akan
terdengar abadi dalam sajakku
yang tak pernah mati.

SALAM KEPADA HEIDEGGER

Sajak tetap rahasia
bagi dia yang tak pernah
mendengar suara nyawa.
Kata-kata tersembul dari alam lain
di mana berkuasa sakit, mati
dan cinta. Kekosongan harap
justru melahirkan ilham
yang timbul-tenggelam dalam arus
mimpi. Biarlah terungkap sendiri
makna dari ketelanjangan bumi.
Masih adakah tersisa pengalaman
yang harus terdengar dalam bunyi?
Sajak sempurna sebaiknya bisu
seperti pohon, mega dan gunung
yang hadir utuh tanpa bicara

Monday, May 3, 2010

RUMAH

Rumah ini tak kosong meskipun tak
ada yang menghuni. Di ruang sunyi
masih melekat kenangan pada dinding
ranjang dan lemari.
adakah kain batik tertinggal
di kursi? dan buku yang dibaca di meja
sebelum naik tidur, dan bantal tempat bercumbu
sehabis si landa cemburu.
kasih dan benci silih berganti berkali-kali
tapi perempuan begitu akrab dengan mati
dan berani menempuh alam tak di ketahui
Di kamar masih tercium harum manusia
dan angan tetap resah di hantui rindu.

Saturday, May 1, 2010

DEWA TELAH MATI

Tak ada dewa di rawa-rawa ini
hanya gagak yang mengakak malam hari
dan siang terbang mengitari bangkai
pertapa yang terbunuh dekat kuil.

Dewa telah mati di tepi tepi ini
hanya ular yang mendesir dekat sumber
lalu minum dari mulut
pelagur yang tersenyum dengan bayang sendiri.

Bumi ini perempuan jalang
yang menarik laki-laki jantan dan pertapa
kerawa-rawa mesum ini
dan membunuhnya pagi hari

Friday, April 30, 2010

JARAK

Bapa di sorga.
biar kita jaga jarak
ini antara kau dan aku
kau hilang dalam keputihan upuk
dan aku tersuruk kehutan buta.
Hiburku hanya burung di dahan
dan jauh kelembah
gerau pasar di dusun.
aku tahu keriuhan ini
hanya sekali terdengar
sesudah itu padam segaala suara
dan aku memburu kepintu rumah.

Bapak di sorga,
biarlah kita jaga jarak ini
sebab aku ini manusia mual
sekali kau tmpak telanjang dihutan
aku akan beteriak seperti yahudi :
''Salib''
Dan kau akan tinggal sebungkah
lumpur lekat di kayu.

AKU DAN SAUDARAKU

Sakitku yang tak sembuh
Adalah untuk merasakan
sakit saudaraku
yang tak mampu untuk membeli obat
di apotik.
laparku di pembaringan
adalah untuk turut menderita
lapar saudarku
yang tak mampu menemukan sisa makanan
di bak sampah.
napasku yang sesak di paru
adalah napas yang tersengal
di dada saudaraku
yang letih disiksa hidup.
Nyawaku yang menanti di ujung ranjang
adalah nyawa yang menangis
yang melepas segala harap.
Aku dan saudaraku lahir dari angan yang sama.
aku dan saudaraku adalah sama-sama anak ilah.